Ironi Pendidikan[1]
(Suatu otokritik)
Suen Herief[2]
”Pendidikan membuat orang mudah diarahkan, tetapi sukar untuk didikte, membuat mereka bisa diperintah, tetapi tidak mungkin diperbudak,” ungkapan bernada optimis dari Henry peter, seorang sejarawan sekaligus negarawan skotlandia ini menjadi suatu harapan ideal bagi tujuan pendidikan untuk setiap orang.
Pendidikan sebagai proses yang dilakukan ditengah masyarakat dalam rangka mempersiapkan generasi penerus agar dapat bersosialisasi dan beradaptasi dalam budaya di era mereka kelak, sesungguhnya dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk strategi budaya bagi manusia untuk mempertahankan kebelangsungan eksistensi mereka.
Pada perkembangannya, pendidikan memang muncul dalam berbagai bentuk dan paham, pendidikan banyak dipahami sebagai bentuk transformasi ilmu pengetahuan, pembentuk pola pikir, pengasah otak, status sosial dalam masyarakat, sampai pada sarana meningkatkan keterampilan kerja.
Yang terakhir ini, menjadi trend baru ditengah tuntutan profesionalisme kerja dan kompetisi yang semakin tinggi, pendidikan menjadi sarana untuk mencetak Sumber daya manusia yang siap kerja dan berkompetisi, sehingga perkembangan institusi pendidikan dengan berbagai level dengan cepatnya berkembang dan diserap.
Dan bahkan tak dapat dipungkiri pengaruh dari sistem perekonomian nasional yang sejak lama (dekade 1970an) terang terangan berkiblat pada sistem kapital, maka pengelolaan institusi Pendidikan di ibaratkan layaknya pabrik dalam dunia industri untuk keperluan industri dengan menghasilkan komoditas sumber daya manusia yang siap dilepas dipasaran, dengan kata lain komodifikasi pendidikan merupakan proses transformasi yang menjadikan sesuatu menjadi komoditi atau barang untuk diperdagangkan demi mendapatkan keuntungan.
Tak ayal, hal ini menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis yang menggiurkan dan pada akhirnya hanya dapat di akses oleh orang orang ‘beruntung’ dan tertentu yang memiliki uang sebagai syarat utama untuk dapat mengakses pendidikan, kalaupun diimbangi dengan adanya program program yang dianggap dapat meringankan (beasiswa dll) namun prosentasenya sangat sedikit, itu pun kerap kali salah sasaran.
Celakanya Negara kita melalui perangkat perangkatnya (Eksekutif dan legislatif) bukannya menjamin dan melindungi hak yang sama bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan, namun justru secara sistematis dan terencana menciptakan iklim bisnis di dunia pendidikan, hal ini terbukti dengan di undangkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS yang Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan,” dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.
Lebih jauh pasal 53 memiliki esensi Badan Hukum Pendidikan didirikan oleh pemerintah atau masyarakat, berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
Dan hal ini ditindaklanjuti dengan digulirkannya pembuatan RUU Badan Hukum Pendidikan yang sampai saat ini tidak jelas keberlangsungan sekaligus muatannya, karena tampaknya hal itu bagi institusi pendidikan yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (UGM,UI dll) telah terpenuhi dalam PP No 23 Tahun 2005 yang esensinya instansi pendidikan adalah salah satu lembaga yang dapat menerapkan manajemen keuangan dengan model Badan Layanan Umum (BLU), dengan kata lain institusi pendidikan tinggi dapat mengelola keuangan tanpa harus ada campur tangan Negara atau otonom penuh.
Dengan begitu, jelaslah sudah kemandirian pengelolaan keuangan mengakibatkan institusi pendidikan harus selalu dapat membuka peluang pemasukan keuangan, salah satu dengan menaikkan biaya pendidikan, tanpa adanya batasan, dengan alasan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan institusi pendidikan tersebut, sekaligus negara melepas tanggung jawab dengan menarik subsidi pendidikan, padahal UUD 1945 amandemen mengamanatkan sekurang kurangnya 20% APBN di gunakan untuk pendidikan hingga seluruh masyarakat dapat mengakses pendidikan tanpa terkecuali (sampai saat ini tak dipenuhi), karena itu adalah hak, tak berlebihan jika dalam hal ini pemerintah telah melanggar konstitusi, dan itu berarti pemerintah telah bertindak inkonstitusional.
Proses industrialisasi pendidikan di Negara kita akan mengakibatkan masyarakat dan peserta didik pada pilihan-pilihan mekanis yakni mengambil sisi pragmatis dan praktisnya, missal munculnya anggapan selesaikan pendidikan secepat mungkin dan dapat kerja, dan anggapan lain yang mengarah pada pilihan yang serba materialistis, sehingga hubungan yang terbentuk layaknya produsen dan konsumen, atau penjual dan pembeli.
Pada akhirnya pendidikan yang mulanya sebagai proses pembentukan pola pikir dan transformasi ilmu pengetahuan yang akan menghasilkan sumber daya manusia unggul dan yang memiliki kompetensi keilmuan, hanya menjadi pelengkap status social bagi mereka yang dapat ‘membelinya.’ Ironis, pada dasarnya Sumber daya cukup tersedia bagi semua, namun tidak semua orang punya akses terhadap sumber daya itu, namun itulah faktanya, pada akhirnya Negara kita yang Sebenarnya memiliki potensi kekayaan alam dan sumber daya manusia yang cukup, sedang dan akan terus dikelola oleh orang orang yang nota bene berpendidikan namun tidak memiliki kompetensi.
Yang berujung pada saat terjun kedalam dunia kerja, profesi dan masyarakat banyak yang bersikap individualis dan elitis untuk menutupi kelemahannya, dan kesenjangan semakin nyata tak hanya dalam hal ekonomi, namun juga pendidikan, Sehingga tak berlebihan kiranya jika kita mengatakan Pendidikan membuat orang mudah menuntut,mudah meminta,mudah berbuat tapi tak mudah memberi dan susah bertanggung jawab. Ironis!!!